Sabtu, 17 Maret 2012

09 - 10 - 11

8 -  10 - 11

Ruang Tamu Rumahku
Siang ini rasa mulas mulai menyapa perut buncitku. Tak terlalu kugubris, kuanggap hanya mulas biasa. Menjelang sore perutku kembali terasa kurang nyaman. Rentang waktunya masih cukup panjang saat itu 3 sampai 4 jam sekali. Hingga menjelang malam barulah aku menceritakan perihal perutku yang rasanya sudah agak aneh kepada suami. Rasa nyerinya yang walaupun masih sangat minimal sudah menjalar ke bagian pinggang bawahku. Perasaan kami sedikit khawatir, baiknya langsung ke rumah sakit atau bagaimana ya. Saat itu sudah mulai larut, akhirnya saya memutuskan untuk dibawa tidur saja toh rentang waktunya masih sangat panjang. Jarum jam telah melewati angka 12, perutku mulai mengganggu lagi. Aku tidak bisa terlelap, mengganggu sekali rasanya perutku ini, tapi tidak terlalu sakit. Sampai akhirnya suamiku terbangun oleh peluhanku di jam 5 pagi, dan  akhirnya kami memutuskan untuk ke rumah sakit.


9 - 10 - 11

Kamar Bersalin, Pukul 6 pagi.
Tok tok tok... "permisi sus, perut saya udah mules - mules ni" "mari bu tidur di sini, kita cek dulu ya" salah satu perawat mempersilahkanku ke kasur yang terletak di urutan terakhir. Beberapa menit kemudian aku dipersiapkan untuk diperiksa kondisi pembukaanku. Prett!! bunyi si suster mengenakan sarung tangan tiba - tiba membuatku mati gaya.
"Tarik nafas ya bu, ehh...jangan merem, matanya dibuka ga boleh merem ya."
Aku mengangguk - angguk tegang, lalu "Aww!! aduu sakit sus"
Dengan wajah santainya ia menyengir "Ini belum pembukaan nih. Oke, sekarang kita cek kontraksinya ya bu. Ibu santai aja uda tidur aja gih."
*Kalo bisa tidur mah ga disini kalee, masi di kasur sendiri sambil ileran*
Sambil tersenyum nyinyir "Iya sus.. hehe"
Perutku dililit oleh sebuah ban yang lalu ditempelkan alat untuk mengukur kadar dan rentang waktu kontraksi. Alat tersebut tersambung oleh kabel yang menghubungkannya dengan sebuah mesin pengukur kontraksi. Selama kurang lebih 30 menit aku berbaring tak boleh bergerak menunggu hasil.
"Bu ini hasilnya sudah keluar, rencananya mau c-section kapan bu?"
"Saya sudah bikin appointment minggu depan sus tanggal 15 sama dokter hardi"
"Ini kontraksinya sudah bagus bu, saya lapor dulu ya ke dokter hardi. Ibu tunggu sebentar disini"
Rasa tegang sudah mulai menyelundup masuk secara diam - diam ke dalam tubuhku. terdengar di kejauhan percakapan si suster dengan dokter melalui telepon.
"Dokter hardi, ini ada pasien dokter, ibu natalia datang katanya uda mules. Saya cek kontraksinya uda bagus nih, tapi belum pembukaan. Katanya udah bikin janji c-section sama dokter minggu depan? gimana jadinya?"
.....
"Ooo, baik dok. jam 12 ya"
Si suster datang menghampiriku menginformasikan hasil keputusan dokter "Bu, kata dokter operasi aja ya langsung jam 12 siang ini, uda bagus ini kontraksinya"
"Oke de sus, tapi saya belum mandi nih sus. Saya pulang dulu sebentar boleh? Mandi siap2."
"Waduh jangan bu, ini kontraksinya udah bagus gini. Tar kalo tiba - tiba keluar gimana hahaha..."
"Ooo yauda deh."
"Mari bu saya antar ke ruang istirahat sambil menunggu jam operasi ibu."


Ruang Istirahat, pukul 7 pagi
Masih beberapa jam lagi sebelum aku bisa menyapa bayi kecilku. Aku disuguhi sandwich telur dan teh manis hangat. Kulahap menu super sederhana itu, rasanya nikmat sekali, mungkin perutku lapar sekali saat itu, apalagi nanti tidak boleh makan lagi sampai keesokan harinya. Aku tidak sendiri di kamar ini, ada seorang calon ibu yang siap - siap menanti kehadiran bayinya juga, namanya Miko. Rentang waktu kontraksiku makin lama makin dekat, sudah 20 menit sekali sekarang. Tak lama mamaku pun datang menemaniku di kamar istirahat ini. Tangannya yang empuk itu mengelus - elus perutku setiap kali aku memeluh menahan sakit. "Sabar ya..hahaha..makanya inilah rasanya jadi emak, baru tau kan sekarang" ledeknya sambil terus bergosip ria dengan ci miko. Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 11 pagi, sudah tiba saatnya aku  masuk ke ruang bedah untuk dipersiapkan. Saat ini rasa mulasnya sudah mulai membuatku seperti nenek - nenek sakit pinggang.


Ruang Bedah, pukul 11 pagi
"Ibu natalia ya?"
"ya sus"
"Ditukar ya bajunya, dan ini untuk membungkus kepalanya"
Kostum sudah siap, aku direbahkan di salah satu kasur yg terdekat denganku. punggungku diolesi krem penghilang rasa sakit. Di titik inilah nanti pungguku akan ditusuk jarum bius yang konon rasanya sakiiitt sekali. Selama kehamilanku cerita soal penyuntikan jarum bius ini yang paling mengerikan, katanya sakitnya luar biasa. Saat ini jarum jam rasanya berjalan lambattt sekali, rasa mulasku sudah 5 menit sekali datang menyapa. Mulasnya bukan sekedar di perut saja, tapi menjalar sampai ke pinggang belakangku, itu yang rasanya mantap pol. Sudah jam 12 dokter tak kunjung datang, para suster pun tak ada satupun yang menggubris kesakitanku. Mungkin ini sudah jadi tontonan biasa bagi mereka, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Gondok? jelas.. tapi mau bagaimana lagi, hanya bisa pasrah.
Tiba2 tanpa basa - basi kasurku didorong untuk masuk ke dalam satu ruangan lain yang terpisah, tampaknya dokter hardi sudah tiba. Gerakan mereka cepat sekali, tau - tau aku sudah di atas kasur bedah dalam hitungan detik. Setelah itu aku didudukkan dan salah satu suster menyuruhku memeluk bantal, jadi posisiku agak sedikit membungkuk. Wah ini dia nih, mau disuntik bius nih.. panik menerjang, tangan si suster jadi pelampiasanku.
"Adu dokkk bentar dokkk bentarrr, saya tarik napas duluuu" teriakku 
"loh, santai aja bu jangan tegang gitu. badannya dilemaskan, dirileksin ayo. Ini belum mau disuntik kok masih disiapin alat - alatnya, nanti dikasi tau kalau udah mau ditusuk." Kata si dokter bius
"oke dok oke.. pelan - pelan ya dok, katanya sakit banget nih ya suntik di punggung?"
"Ahh..Siapa bilang? Kamu katanya skoliosis? Mana ini lurus kok punggungmu ga bengkok. ke dokter mana kamu?
" Ada dok di PIK. Chiropractic gitu."
"Oke, selesai."
"Ha?? lohh?? uda disuntik ni dok? beneran uda selesai? kok ga berasa apa - apa?
Wah lega sekali rasanya saat itu. Benar - benar tidak terasa tusukan apapun, tidak jelas juga kenapa bisa begitu ya. Mungkin memang dokter biusnya handal, atau mungkin juga rasa sakit dari kontraksiku mengalahkan jarumnya. Selesai dibius aku kembali direbahkan. Aku tak dapat melihat kegiatan apa saja yang tengah berlangsung dari pinggang ke bawah, karena dihalangi oleh sebuah tiang kain yang kira - kira setinggi 1 meter kurang. Hidungku diberi oksigen, rasanya sejuk sekali. Semburan hawa dingin merasuk lewat hidungku. Sungguh panik rasanya saat itu mendengar celentingan pisau - pisau bedah, aku benar - benar mati gaya. Si dokter malah asik mengajak ngobrol seisi ruangan, ia seru bercerita soal pasien - pasiennya yang lucu dan kadang menyebalkan, santai sekali mereka pikirku. Tak berselang lama suasana ruangan berubah, tangisan bayi yang begitu kerasnya memecah kepanikanku. Saat itu juga airmataku mengalir tanpa diundang, aku pun tak tau mengapa aku menangis pada saat itu. Yang jelas aku tak dapat mengontrol isakanku saat dokter memperlihatkan manusia kecil yang baru saja dipisahkan dari ari - ariku. Oh Tuhan senikmat inikah ternyata perasaan ini. Hanya beberapa detik aku melihat bayiku, setelah itu aku langsung dipindahkan ke ruang pemulihan yang bersebelahan dengan ruang bedahku. Efek obat bius masih sangat terasa, ngantuk sekali rasanya tapi aku tidak dapat terlelap. Pikiranku melayang - layang menantikan bayiku.
"Bu ini bayinya, selamat ya laki - laki. Inisiasi dini sebentar ya bu"
Si suster menaruh bayiku di atas pelukanku dan mengarahkan bibirnya ke putingku. Bayiku reflek menghisapnya, isapannya masih sangat lemah. Ya Tuhan, terima kasih sungguh ya Tuhan. Kuperhatikan jari - jari mungilnya, kepala bundarnya, bibir mungilnya yang sedang menghisap menanti susu. Tidak lama aku menikmati momen ini, tak sampai 5 menit lalu bayiku diambil kembali karena suhu ruangan bedah terlalu dingin untuknya sehingga si suster segera memindahkannya ke kamar bayi. Saat ini efek bius mulai menguasaiku lagi dan aku pun mengalah.


10 - 10 - 11

Kamar Pasien
Aku dan anakku



Joshua Oliver Christanto
3040 gr 49 cm